Sekolah sebagai sebuah system memiliki tiga aspek pokok yang berkaitan langsung dengan mutu sekolah. Ketiga aspek itu adalah proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, sikap, prilaku, dan nilai-nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, maupun cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, sekaligus cara memandang suatu persoalan dan memecahkannya.
Menurut Clifford Greetz kultur merupakan suatu pola pemahaman terhadap fenomena social yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pendapat ini, kultur sekolah dapat digambarkan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan kebiasaan-kebiasaan yang dikondisikan oleh sekolah dalam mengelola pendidikan bagi semua warga sekolah. Kultur sekolah haruslah dihidupi dan dipegang teguh oleh semua sekolah sekaligus menjadi dasar pijakan dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di lingkungan sekolah.
Program aksi untuk meningkatkan mutu sekolah yang hanya menekankan aspek proses belajar mengajar tidaklah cukup. Dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan, yaitu terbentuknya sumberdaya manusia yang berkualitas, maka pengelolaan pendidikan di sekolah haruslah menyentuh tiga aspek yakni adanya proses belajar mengajar yang bermutu, adanya kepemimpinan dan manajemen yang baik, dan dihidupinya kultur sekolah secara  baik oleh setiap warha sekolah. Kultur sekolah yang “sehat” akan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan moral kerja guru, produktivitas dan kepuasan kerja guru, serta motivasi dan prestasi peserta didik.
Sebuah kultur sekolah harus dilihat secara menyeluruh terkait dengan aspek-aspek yang lain seperti : (a) rangsangan untuk berprestasi, (b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, (c) komunitas yang tertib dan disiplin, (d) pemahaman yang baik terhadap tujuan sekolah (e) visi dan misi sekolah yang jelas, (f) partisipasi orang tua siswa, (g) kepemimpinan kepala sekolah, (h)  hubungan baik antarguru (antarwarga sekolah). Hal ini berarti dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa tidaklah langsung, tetapi ditentukan oleh variable lain, misalnya motivasi siswa belajar untuk mencapai prestasinya
Dalam proses pendidikan formal di sekolah, siswa akan menghabiskan waktunya di sekolah kurang lebih 6 jam setiap hari, ini berarti moral, nilai, sikap, dan perilakunya sangat dipengaruhi oleh kultur sekolah di tempat dia belajar. Perkembangan hidup dan kepribadiannya pasti dipengaruhi oleh kultur sekolah serta interaksinya dengan semua komponen sekolah seperti siswa lain, kepala sekolah, guru, dan materi pembelajaran. Di Indonesia penelitian yang mengungkap keterkaitan antara kultur sekolah dengan prestasi siswa belum banyak dilakukan. Tetapi kita dapat belajar dari hasil penelitian di Amerika Serikat tentang factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah.
Ann Bradley  dalam “ Hardly Working” mengemukakan hasil penelitian tentang faktoe-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah, yang dilakukan terhadap 1000 siswa di New York City. Hasilnya menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras, dan mereka menyatakan kalau mereka mau mereka dapat mencapai nilai yang lebih baik. Mereka tidak menghendaki tes karena hal itu hanya membuat mereka harus belajar lebih banyak. Selain itu, siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR.  Sekitar 60% siswa menyatakan, mereka  malas belajar dikarenakan guru tidak menarik, tidak antuasias, dan tidak menguasai materi dalam mengajar. Sebagaian besar responden menyatakan, sekolah tidak dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Sekitar 80% siswa menyatakan mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah berjalan secara tepat seperti jadwal yang diterntukan. Sebagian siswa lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka, dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Sebagai balasannya, mereka juga tidak menghargai guru (Zamroni, 2001 : 151).
Belajar dari hasil penelitian ini, kiranya perlu kita menciptakan kultur sekolah yang baik. Untuk membangun kultur sekolah yang baik, kepala sekolah perlu berkolaborasi dengan guru, orang tua siswa , staf administrasi, dan tenaga professional lain. Kultur sekolah akan baik apabila kepala sekolah dan guru berperan sebagai model, ada kerja sama yang baik antarwarga sekolah, adanya iklim kerja yang tertib dan disiplin.

Komentar

Postingan Populer